Perspektif Praktik Sunat Perempuan di Indonesia, Bahaya Namun Masih Dianggap Tradisi

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA – Sunat perempuan atau khitan perempuan, baik secara simbolik maupun fisik, merupakan praktik pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan atau yang disebut dengan istilah P2GP (Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan). 

Istilah ini digunakan untuk menghindari kontroversi yang sering kali mengalihkan fokus dari masalah inti, yaitu kekerasan terhadap perempuan, dan justru diartikan sebagai penentangan terhadap ajaran agama tertentu, khususnya Islam.

Padahal, praktik sunat perempuan tidak hanya terjadi di kalangan penganut agama Islam, melainkan juga dengan latar belakang keyakinan yang berbeda.

Data nasional menunjukkan bahwa praktik sunat perempuan masih marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2013, sebanyak 51,2 persen perempuan usia 0-11 tahun di Indonesia mengalami sunat perempuan.

Studi yang dilakukan oleh Komnas Perempuan (KP) dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada (PSKK UGM) pada tahun 2017 juga menemukan bahwa ada 10 provinsi dan 17 kabupaten/kota dengan angka praktik sunat perempuan tertinggi di Indonesia.

Praktik sunat perempuan ini dilakukan dengan berbagai metode seperti menusuk, mengiris, mengikis (33,2 persen), mengangkat jaringan klitoris (31,8 persen), memotong (28,1 persen), hingga menggores atau mengorek (1,2 persen). 

Tindakan simbolis hanya tercatat sebanyak 1,2 persen, sehingga praktik yang melibatkan perlukaan fisik mencapai 98,8 persen.

Sementara itu, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) KemenPPPA RI tahun 2021 menunjukkan bahwa 50,5 persen perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami sunat perempuan. Sunat ini umumnya dilakukan pada usia bayi, balita, hingga menjelang masa baligh.

Pelaku utama sunat perempuan adalah bidan, perawat, mantri (45,8 persen), dukun bayi (27,7 persen), dan dukun sunat perempuan (16,5 persen). Alasan utama yang melandasi praktik ini adalah perintah agama/keyakinan (68,1 persen), tradisi (40,3 persen), dan alasan kesehatan (26,1 persen).

Peneliti Senior Puan Amal Hayati, Lies Marcoes mengatakan, bahwa praktik sunat perempuan ini biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pemotong seperti pisau, gunting, sembilu, atau bahkan kuku, yang jelas-jelas merupakan tindakan P2GP.

Meskipun data berbasis bukti menunjukkan bahaya yang ditimbulkan oleh sunat perempuan, kesadaran akan kebahayaan praktik ini masih kurang di masyarakat.

“Praktik ini sering kali dianggap sebagai bagian dari tradisi, adat, atau bahkan dianjurkan dalam agama. Padahal, sunat perempuan terbukti tidak memiliki manfaat medis dan justru menimbulkan bahaya serta kekerasan fisik terhadap perempuan,” ungkap Lies saat diskusi Pencegahan P2GP/Sunat Perempuan di Jakarta, Kamis (29/8/2024).

Untuk itu, lanjut lies, penting bagi kampanye dan advokasi untuk mengolah dan memaknai data yang tersedia dengan perspektif hak asasi manusia (HAM), budaya, agama, dan hukum yang melarang segala bentuk kekerasan berbasis prasangka gender.

“Sunat perempuan perlu disuarakan sebagai tindakan yang tidak bermanfaat dan justru berbahaya bagi kesehatan dan kesejahteraan perempuan,” ucapnya.

Secara hukum, praktik P2GP bertentangan dengan berbagai undang-undang di Indonesia, seperti UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Selain itu, praktik ini juga bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 5, yang menekankan pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, Indonesia terikat untuk melindungi perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.

“Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, pemerintah, dan organisasi terkait untuk terus mengkampanyekan penghapusan praktik sunat perempuan dan memastikan perlindungan hak-hak perempuan di Indonesia,” tandas Lies.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *